Senin, 08 Februari 2010

Tugas Mata kuliah Kewarganegaraan...


GEOPOLITIK INDONESIA

Konsepsi Geopolitik
Geopolitik secara etimologi berasal dari kata geo (bahasa Yunani) yang berarti bumi yang menjadi wilayah hidup. Sedangkan politik dari kata polis yang berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri atau negara ; dan teia yang berarti urusan (politik) bermakna kepentingan umum warga negara suatu bangsa (Sunarso, 2006: 195). Sebagai acuan bersama, geopolitik dimaknai sebagai ilmu penyelenggaraan negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan masalah-masalah geografi wilayah atau tempat tinggal suatu bangsa. Frederich Ratzel mengenalkan istilah ilmu bumi politik (political geography), Rudolf Kjellen menyebut geographical politic dan disingkat geopolitik.
Geopoltik dapat juga diartikan sebagai suatu studi yang mengkaji masalah-masalah geografi , sejarah dan ilmu social politik dengan merujuk kepada percaturan politik internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politik suatu wilayah geografi yang mencakup lokasi, luas serta SDA wilayah tersebut.

Unsur utama Geopolitik
• Konsepsi ruang diperkenalkan Karl Haushofer menyimpulkan bahwa ruang merupakan wadah dinamika politik dan militer, teori ini disebut pula teori kombinasi ruang dan kekuatan
• Konsepsi frontier (batas imajiner dari dua negara)
•Konsepsi politik kekuatan yag terkait dengan kepentingan nasional
• Konsepsi keamanan negars dan bangsa sama dengan konsep ketahanan nasional
Geopolitik IndonesiaGeopolitik Indonesia tiada lain adalah Wawasan Nusantara
• Wawasan Nusantara tidak mengandung unsur-unsur ekspansionisme maupun
Kekerasan.

• Cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945, yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bermartabat serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaannya dalam mencapai tujuan nasional.
• Wawasan nusantara juga sering dimaknai sebagai cara pandang, cara memahami, cara menghayati, cara bertindak, berfikir dan bertingkah laku bagi bangsa Indonesia sebagai hasil interaksi proses psikologis, sosiokultural dengan aspek-aspek astagatra.
Geopolitik memaparkan dasar pertimbangan dalam menentukan alternative kebijakan nasional untuk mewujudkan tujuan tertentu. Prinsip-prinsip dalam geopolitik menjadi perkembangan suatu wawasan nasional. Geopolitik dibutuhkan oleh setiap Negara di dunia untuk memperkuat posisinya terhadap Negara lain untuk memperoleh kedudukan yang penting di antara masyarakat bangsa-bangsa atau secara lebih tegas lagi untuk menempatkan diri pada posisi yang sejajar di antara Negara-negara raksasa.
Wawasan nusantara dalam konsep geopolitik Indonesia
Wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia terhadap rakyat,bangsa dan wilayah NKRI yang meliputi darat ,laut dan udara di atasnya sebagai satu kesatuan politik ekonomi social,budaya dan pertahanan keamanan.Tujuan dari wawasan nusantara di bagi menjadi dua tujuan yaitu tujuan nasional dan tujuan ke dalam.Tujuan nasional dapat dilihat dalam pembukaan UUD 45.pada UUD 45 dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk mewujudkan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan social.Sedangkan tujuan yang kedua yaitu tujuan kedalam adalah untuk mewujudkan kehidupan segenap aspek kehidupan,baik alamiah maupun social .maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia dilihat dari konsep geopolitiknya adalah menjunjung tinggi kepentingan nasional,serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina kesejahteraan,kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia
Berkaitan dengan penjelasan mengenai geopolitik diatas,salah satu contoh kasus yang sesuai adalah Konflik Pulau Ambalat anatara Negara Republik Indonesia dengan Negara Malaysia.

KRONOLOGI SENGKETA AMBALAT
Tahun 1967
Pertama kali dilakukan pertemuan teknis hukum laut antara Indonesia dan Malaysia kedua belah pihak akhirnya sepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo)

27 Oktober 1969
Dilakukan penanda tanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia, kedua negara masing2 melakukan ratifikasi pada 7 November 1969,

Tahun 1969
Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.

17 Maret 1970
Kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia akan tetapi, kembali pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan serta merta menyatakan dirinya sebagai negara kepulauan dan secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat kedalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10′ arah utara melewati pulau Sebatik. Tentu peta inipun sama nasibnya dengan terbitan Malaysia pada tahun 1969 yaitu diprotes dan tidak diakui oleh pihak Indonesia dengan berkali-kali pihak Malaysia membuat sendiri peta sendiri padahal telah adanya perjanjian Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970, masyarakat Indonesia melihatnya sebagai perbuatan secara terus menerus dari pihak Malaysia seperti ingin melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia.

21 Februari 2005
Di Takat Unarang (nama resmi Karang Unarang) Sebanyak 17 pekerja Indonesia ditangkap oleh awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka,
Angkatan laut Malaysia mengejar nelayan keluar Ambalat.
Malaysia dan Indonesia memberikan hak menambang ke Shell, Unocal dan ENI. Berkaitan dengan itu pula surat kabar Kompas mengeluarkan berita bahwa Menteri Pertahanan Malaysia telah memohon maaf berkaitan perkara tersebut. Berita tersebut segera disanggah oleh Menteri Pertahanan Malaysia yang menyatakan bahwa kawasan tersebut adalah dalam kawasan yang dituntut oleh Malaysia, dengan itu Malaysia tidak mempunyai sebab untuk memohon maaf karena berada dalam perairan sendiri. Sejajar dengan itu, Malaysia menimbang untuk mengambil tindakan undang-undang terhadap surat kabar KOMPAS yang dianggap menyiarkan informasi yang tidak benar dengan sengaja.
Pemimpin Redaksi Kompas, Suryopratomo kemudian membuat permohonan maaf dalam sebuah berita yang dilaporkan di halaman depan harian tersebut pada 4 Mei 2005, di bawah judul Kompas dan Deputi Perdana Menteri Malaysia Sepakat Berdamai.
Pada koordinat: 4°6′03.59″N 118°37′43.52″E / 4.1009972°N 118.6287556°E / 4.1009972; 118.6287556 terjadi ketegangan yang melibatkan kapal perang pihak Malaysia KD Sri Johor, KD Buang dan Kota Baharu berikut dua kapal patroli sedangkan kapal perang dari pihak Indonesia melibatkan KRI Wiratno, KRI Tongkol, KRI Tedong Naga KRI K.S. Tubun, KRI Nuku dan KRI Singa [6] yang kemudian terjadi Insiden Penyerempetan Kapal RI dan Malaysia 2005, yaitu peristiwa pada tgl. 8 April 2005 Kapal Republik Indonesia Tedong Naga (Indonesia) yang menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali, akan tetapi tidak pernah terjadi tembak-menembak karena adanya Surat Keputusan Panglima TNI Nomor: Skep/158/IV/2005 tanggal 21 April 2005 bahwa pada masa damai, unsur TNI AL di wilayah perbatasan RI-Malaysia harus bersikap kedepankan perdamaian dan TNI AL hanya diperbolehkan melepaskan tembakan bilamana setelah diawali adanya tembakan dari pihak Malaysia terlebih dahulu.
Shamsudin Bardan, Ketua Eksekutif Persekutuan Majikan-majikan Malaysia (MEF) menganjurkan agar warga Malaysia mengurangi pemakaian tenaga kerja berasal dari Indonesia Pihak Indonesia mengklaim adanya 35 kali pelanggaran perbatasan oleh Malaysia.

24 Februari 2007
Pukul 10.00 WITA kapal perang Malaysia KD Budiman dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh satu mil laut, pada sore harinya, pukul 15.00 WITA, kapal perang KD Sri Perlis melintas dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh dua mil laut yang setelah itu dibayang-bayangi KRI Welang, kedua kapal berhasil diusir keluar wilayah Republik Indonesia.

25 Februari 2007
Pukul 09.00 WITA KD Sri Perli memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard yang akhirnya diusir keluar oleh KRI Untung Suropati, kembali sekitar pukul 11.00, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia jenis Beech Craft B 200 T Superking melintas memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard, kemudian empat kapal perang yakni KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Keris, KRI Untung Suropati dan KRI Welang disiagakan.

21 Maret 2009
Pengamanan wilayah Ambalat terus diperketat. Sebanyak 130 pasukan marinir yang tergabung dalam Satuan Tugas (Satgas) Ambalat IX kembali dikerahkan ke wilayah yang sampai sekarang masih menjadi sengketa antara pemerintah RI dengan Malaysia itu.Komandan Pasmar-1 Brigadir Jendral TNI (Mar) I Wayan Mendra memastikan pengerahan pasukan tersebut tidak terkait peningkatan intensitas ketegangan di perairan Ambalat. Tapi murni bagian rotasi pasukan keamanan yang sebelumnya telah bertugas selama 6 bulan.
Kepala Dinas Penerangan Armada RI Kawasan Timur (Armatim) Letkol TNI (KH) Tony Saiful mengatakan penjagaan keamanan di wilayah perairan Ambalat memang menjadi prioritas TNI. Armatim sendiri telah menempatkan sejumlah kapal perang jenis korvet untuk melakukan patroli rutin di wilayah sengketa antara NKRI dengan pemerintah Malaysia ini.

Perhatian TNI AL dalam pengamanan kepulauan Ambalat ini berulang kali di tegaskan KSAL Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno. Dalam sebuah kesempatan wawancara dia bahkan mengisyaratkan rencana penambahan kekuatan pasukan marinir di darat maupun di perairan untuk mempertegas eksistensi NKRI di wilayah sengketa ini.
Selanjutnya,tanggal 30 Mei 2009 pukul 06.00 WITA, KRI Untung Suropati-872 pada posisi 04°04’80”U - 118°03’10”T mendapat kontak radar kapal dengan baringan 128 pada jarak 8 mil laut dengan haluan 300 berkecepatan 11 knot. Setelah diplot di peta pada posisi 04°00’00”U - 118°09’00”T (dimana posisi ini masuk wilayah perbatasan NKRI sejauh 8 mil laut (tenggara Karang Unarang)) serta diamati terus-menerus dan dilaksanakan identifikasi secara visual, dipastikan bahwa kapal tersebut adalah KD Baung – 3509, kapal TLDM (Tentera Laut Diraja Malaysia) jenis Fast Attack Craft - Gun (Patrol Boat), setipe dengan KD Yu -3508 yang memaksa masuk wilayah NKRI pada hari Senin lalu.

Selanjutnya KRI Untung Suropati – 872 melaksanakan peran tempur bahaya permukaan karena KD Baung sudah memasuki wilayah NKRI dan melaksanakan komunikasi tetapi KD Baung menutup radio dan tidak mau menjalin komunikasiPada pukul 06.30 WITA, KRI Untung Suropati – 872 melaksanakan intersepsi sampai pada jarak 400 yard, namun komunikasi masih belum terjalin dan KD Baung sama sekali tidak mengindahkan peringatan dari KRI Untung SuropatiKRI Untung Suropati – 872 terus melaksanakan shadowing sesuai prosedur selama sekitar 1,5 jam. Selama proses shadowing, sambil keluar dari wilayah NKRI, KD Baung melakukan 4 kali manuver zigzag sambil meningkatkan kecepatan yang memprovokasi dan membahayakan. KRI Untung Suropati terus menghalau dan bermanuver untuk mendekati dan mengusir KD Baung sampai akhirnya meninggalkan batas wilayah NKRI.

Pada pukul 07.12 WITA, KD Baung yang sudah keluar meninggalkan wilayah NKRI mengapung pada posisi 04°10’61”U - 117°57’00”T atau 1.200 yard dari garis perbatasan. KRI Untung Suropati mengapung pula di perbatasan. Selanjutnya KRI Pulau Rimau standby di perbatasan Sebatik dengan Tawau. Menyusul dari selatan, KRI Suluh Pari datang bergabung dalam penjagaan perbatsan.KRI Pulau Rimau kemudian melaporkan bahwa ada helikopter di atas KD Baung. Atas antisipasi terhadap hal ini, KRI Untung Suropati melakukan kontak kepada unsur Patroli Udara TNI AL Pesawat Nomad P – 834 yang berada di Tarakan untuk menghalau apabila heli tersebut masuk ke wilayah NKRI. Selanjutnya P – 834 terbang menuju Ambalat untuk kemudian bergabung guna menghalau unsur–unsur TLDM yang sewaktu-waktu bisa masuk kembali ke wilayah NKRI.
Menurut pendapat saya,Malaysia dan Indonesia adalah sama-sama negeri Islam, karena mayoritas penduduknya adalah Muslim. Sebagai sesama negeri Muslim, kedua negeri ini sesunguhnya merupakan satu tubuh, dan penduduknya adalah bersaudara, sekalipun wilayah mereka, satu sama lain berbeda.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa akar persoalan ini terjadi sebagai akibat dari adanya nation state (negara-bangsa), yang lahir setelah hilangnya Khilafah Islam. Dibumbui dengan doktrin Nasionalisme, maka negara-bangsa tersebut telah berhasil digunakan oleh kaum penjajah untuk mengerat negeri kaum Muslim sehingga menjadi negara-negara kecil dan lemah, di antaranya seperti Malaysia dan Indonesia. Setelah itu, persatuan dan kesatuan mereka terkoyak-koyak. Akhirnya, mereka pun menjadi lemah untuk selama-lamanya, sehingga negara-negara penjajah Kafir dengan mudah menguasai mereka.
Selain itu, perairan di Laut Sulawesi itu jelas merupakan hak milik umum. Sebagai hak milik umum, tentu siapa yang terlebih dahulu menguasainya, maka dialah yang lebih berhak.
Dilihat dari sejarahnya, Ambalat dahulu jelas merupakan wilayah kesultanan Bulungan, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Kaltim, serta kedekatan jarak perairan tersebut dengan Indonesia dibanding dengan Malaysia, maka dalam konteks penguasaan hak milik umum, tentu Indonesialah yang lebih berhak ketimbang Malaysia.
Artinya, pemerintah Indonesialah yang berhak mengelola kawasan tersebut. Meski begitu, pemerintah Indonesia tetap tidak boleh memberikan konsesi pengelolaannya kepada pihak swasta, baik asing maupun domestik. Karena ini jelas merupakan hak milik umum, bukan milik negara.
Karena kawasan ini bukan hak milik negara, maka negara tidak berhak memberikan konsesi apapun kepada pihak swasta. Karena itu, tindakan pemerintah Indonesia dengan memberikan konsesi kepada ENI dan Unocal, atau tindakan pemerintah Malaysia dengan memberikan konsesi kepada Shell, adalah bentuk pelanggaran terhadap hak milik umum, apapun alasannya. Apalagi jika yang mendapatkan konsesi itu adalah negara penjajah, seperti Inggris, Belanda, Italia, dan Amerika.
Dengan demikian, jika persoalan tersebut tidak diletakkan secara proporsional, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik bersenjata antara Malaysia dengan Indonesia, sebagaimana yang dituntut oleh sebagian kalangan yang akhir-akhir ini kian nyaring terdengar di Indonesia. Masalahnya adalah, siapa yang diuntungkan jika akhirnya konflik bersenjata itu benar-benar meletus? Tentu bukan keduanya. Mengapa?
Pertama, secara ekonomi, karena perairan tersebut konsesi migasnya telah diberikan oleh pemerintah masing-masing negara kepada pihak ketiga-yaitu Inggris, Belanda, Italia, dan Amerika-maka kalau pun Malaysia menang 'perang ', maka mereka pun tidak akan mendapatkan apa-apa, selain kompensasi bagi hasil dan pajak. Begitu juga kalau Indonesia yang menang. Malaysia dan Indonesia hanya mendapatkan kepedihan, baik berupa perang sesama saudara maupun luka hingga generasi mendatang.
Kedua, secara politik, jika masing-masing pihak bersikukuh dengan klaimnya, dan tidak ada salah satu pihak yang mengalah, maka bisa jadi kawasan tersebut akan diinternasionalisasi oleh badan dunia, sebagaimana yang pernah hendak dilakukan terhadap al-Quds. Jika demikian, maka baik Indonesia maupun Malaysia akan sama-sama rugi. Lagi-lagi yang diuntungkan tentu negara-negara besar yang mempunyai pengaruh paling kuat pada badan dunia tadi, baik di Mahkamah Internasional, PBB, maupun lembaga-lembaga internasional lainnya.
Ketiga, dari aspek pertahanan dan keamanan, jika konflik bersenjata antara Indonesia dan Malaysia itu sampai pecah, pasti akan menjadi justifikasi (pengesahan) bagi pihak asing, khususnya negara-negara penjajah tadi, supaya mereka bisa melakukan intervensi (campur tangan) di kawasan tersebut. Jika ini terjadi, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit, dan perseteruan tersebut bisa diramalkan akan berlarut-larut. Ini seperti yang dialami oleh Suriah dan Lebanon, Iran dan Irak, atau India dan Pakistan.
Jalan Keluar Bagi Krisis Ambalat Dengan duduk perkara dan logika di atas, maka krisis Ambalat itu seharusnya diselesaikan dengan cara damai (diplomasi), bukan melalui konfrontasi (konflik bersenjata).
Penyelesaian melalui jalur diplomasi (perundingan damai)-lah yang paling logis dan rasional, dengan biaya yang lebih murah. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia harus bisa membuktikan kepada pemerintah Malaysia bahwa Indonesialah yang lebih berhak atas wilayah tersebut, baik dari aspek kesejarahan maupun dokumen hukum kelautan. Sebaliknya, Malaysia tidak mempunyai satu pun bukti yang bisa dijadikan sebagai acuan, selain klaim sepihak.
Lebih dari itu, sebagai sesama negeri Muslim, masing-masing pemerintahan kedua negara itu harus menyadari bahwa hukum sesama Muslim bermusuhan jelas diharamkan oleh Islam. Karena itu, apapun bentuknya, tindakan permusuhan tersebut harus dijauhi.Kaum Muslim termasuk para tokoh masyarakat, ulama' dan intelektual di Indonesia dan Malaysia juga harus bersama-sama mencegah terjadinya perang saudara. Sebab, yang diuntungkan dari perang tersebut bukan umat Islam di kedua negara tersebut, melainkan negara-negara penjajah Kapitalis tadi.Khatimah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar